ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN PERILAKU DAN PRIBADI
Setiap organisme, baik manusia maupun hewan, pasti mengalami peristiwa perkembangan selama hidupnya. Perkembangan ini meliputi seluruh bagian dengan keadaan yang dimiliki oleh organisasi tersebut, baik yang bersifat konkret maupun yang bersifat abstrak. Jadi, arti peristiwa perkembangan itu khususnya perkembangan manusia tidak hanya tertuju pada aspek psikologis saja, tetapi juga aspek biologis. Karena setiap aspek perkembangan individu, baik fisik, emosi, inteligensi maupun sosial, satu sama lain saling mempengaruhi. Terdapat hubungan atau korelasi yang positif diantara aspek tersebut. Apabila seorang anak dalam pertumbuhan fisiknya mengalami gangguan (sering sakit-sakitan), maka dia akan mengalami kemandegan dalam perkembangan aspek lainnya, seperti kecerdasannya kurang berkembang dan mengalami kelabilan emosional.
1. Perkembangan Fisik dan Perilaku Psikomotorik
- Perkembangan fisik
Fisik
atau tubuh manusia merupakan sistem organ yang kompleks dan sangat
mengagumkan. Semua organ ini terbentuk pada periode pranatal (dalam
kandungan). Berkaitan dengan perkembangan fisik ini Kuhlen dan Thompson
(Hurlock, 1956) mengemukakan bahwa perkembangan fisik individu meliputi
empat aspek, yaitu (1) Sistem syaraf, yang sangat mempengaruhi
perkembangan kecerdasan dan emosi; (2) Otot-otot, yang mempengaruhi
perkembangan kekuatan dan kemampuan motorik; (3) Kelenjar Endokrin, yang
menyebabkan munculnya pola-pola tingkah laku baru, seperti pada usia
remaja berkembang perasaan senang untuk aktif dalam suatu kegiatan, yang
sebagian anggotanya terdiri atas lawan jenis; dan (4) Struktur
Fisik/Tubuh, yang meliputi tinggi, berat, dan proporsi.
Awal
dari perkembangan pribadi seseorang asasnya bersifat biologis. Dalam
taraf-taraf perkembangan selanjutnya, normlitas dari konstitusi,
struktur dan kondisi talian dengan masalah Body-Image, self-concept,
self-esteem dan rasa harga dirinya. Perkembangannya fisik ini mencakup
aspek-aspek sebagai berikut:
1. Perkembangan anatomis
Perkembangan
anatomis ditunjukkan dengan adanya perubahan kuantitatif pada struktur
tulang belulang. Indeks tinggi dan berat badan, proporsi tinggi kepala
dengan tinggi garis keajegan badan badan secara keseluruhan.
2. Perkembangan fisiologi
Perkembangan
fisiologis ditandai dengan adanya perubahan-perubahan secara
kuantitatif, kualitatif dan fungsional dari sistem-sistem kerja hayati
seperti konstraksi otot, peredaran darah dan pernafasan, persyaratan,
sekresi kelenjcar dan pencernaan.
Aspek
fisiologi yang sangat penting bagi kehidupan manusia adalah otak
(brain). Otak dapat dikatakan sebagai pusat atau sentral perkembangan
dan fungsi kemanusiaan. Otak ini terdiri atas 100 miliar sel syaraf
(neuron), dan setiap sel syaraf tersebut, rata-rata memiliki sekitar
3000 koneksi (hubungan) dengan sel-sel syaraf yang lainnya. Neuron ini
terdiri dari inti sel (nucleus) dan sel body yang berfungsi sebagai
penyalur aktivitas dari sel syaraf yang satu ke sel yang lainnya.
- Perkembangan perilaku psikomotorik
Perilaku
psikomotorik memerlukan koordinasi fungsional antara neuronmuscular
system (persyarafan dan otot) dan fungsi psikis (kognitif, afektif, dan
konatif).
Loree
(1970 : 75) menyatakan bahwa ada dua macam perilaku psikomotorik utama
yang bersifat universal harus di kuasai oleh setiap individu pada masa
bayi atau awal masa kanak-kanaknya ialah berjalan (walking) dan memegang benda (prehension).
Kedua jenis keterampilan psikomotorik ini merupakan basis bagi
perkembangan keterampilan yang lebih kompleks seperti yang kita kenal
dengan sebutan bermain (playing) dan bekerja (working).
Dua
prinsip perkembangan utama yang tampak dalam semua bentuk perilaku
psikomotorik ialah (1) bahwa perkembangan itu berlangsung dan yang
sederhana kepada yang kompleks, dan (2) dan yang kasar dan global (gross bodily movements) kepada yang halus dan spesifik tetapi terkoordinasikan (finely coordinated movements).
(1) Berjalan dan Memegang Benda
Keterampilan berjalan diawali dengan gerakan-gerakan psikomotor dasar (locomotion)
yang harus dikuasainya selama tahun pertama dari kehidupannya.
Perkembangan psikomotorik dasar itu berlangsung secara sekuensial,
sebagai berikut: (1) keterampilan bergulir (roil over) dan telentang menjadi telungkup (5 : 8 bulan), (2) gerak duduk (sit up) yang bebas (8,3 bulan), (3) berdiri bebas (9,0 bulan) berjalan dengan bebas (13,8 bulan) (Lorre, 1970: 75).
Dengan
demikian, maka dalam gerakan-gerakan psikornotorik dasar itu tingkatan
perkembangan penguasaannya sudah dapat diprediksi. Kalau teradi
kelambatan-kelambatan dan ukuran normalitas waktu di atas, berarti
menandakan adanya kelainan tertentu.
Keterampilan
memegang benda, sampai dengan 6, bulan pertama dan kelahirannya barulah
merupakan gerakan meraih benda-benda yang ditarik ke dekat badannya
dengan seluruh lengannya. Baru mulai pada masa enam bulan kedua dan
kelahirannya, jari-jemarinya dapat berangsur digunakan memungut dan
memegang erat-erat benda, seraya memasukkan ke mulutnya. Keterampilan
memegang secara bebas baru dicapai pula setelah keterampilan berjalan
bebas dikuasai.
(2) Bermain dan Bekerja
Dengan
dikuasainya keterampilan berjalan, anak bergerak sepanjang han ke
segenap ruangan dan halaman rumah nya seperti tidak mengenal lelah,
kadang-kadang berjalan, berlari, memanjat, melompat, dan sebagainya.
Hampir setiap benda yang ada di sekitarnya disentuhnya, diguncang,
dirobek, atau dilemparnya. Kalau kepada mereka diberikan atau disediakan
alat-alat mainan tertentu mulailah mereka menyusunnya menyerupai
konstruksi tertentu.
Mulai
usia 4-5 tahun bermain konstruksi yang fantastik itu dapat beralih
kepada berbagai bentuk gerakan bermain yang ritmis dan dinamis, tetapi
belum terikat dengan aturan-aturan tertentu yang ketat.
Pada
usia masa anak sekolah, permainan fantastik berkembang kepada permainan
yang realistik yang melibatkan gerakan-gerakan yang lebih kompleks
disertai aturan-aturan yang ketat.
Pada
usia remaja kegiatan motorik sudah tertuju kepada persiapan-persiapan
kerja, keterampilan-keterampilan menulis, mengetik, menjahit, dan
sebagainya sangat tepat saatnya mulai dikembangkan.
(3) Proses Perkembangan Motorik
Di
samping faktor-faktor hereditas, faktor-faktor lingkungan alamiah,
sosial, kultural, nutrisi dan gizi serta kesempatan dan latihan
merupakan hal-hal yang sangat berpengaruh terhadap proses dan produk
perkembangan fisik? dan perilaku psikomotorik.
2. Perkembangan Bahasa dan Perilaku Kognitis
a. Perkembangan Bahasa
Bahasa merupakan kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dalam
pengertian ini tercakup semua cara untuk berkomunikasi, dimana pikiran
dan perasaan dinyatakan dalam bentuk lambang atau simbol untuk
mengungkapkan sesuatu pengertian, seperti dengan menggunakan lisan,
tulisan, isyarat, bilangan, lukisan, dan mimik muka.
Bahasa
merupakan faktor hakiki yang membedakan manusia dengan hewan. Bahasa
merupakan anugerah dari Allah Swt, yang dengannya manusia dapat mengenal
atau memahami dirinya, sesama manusia, alam, dan penciptanya serta
mampu memposisikan dirinya sebagai makhluk berbudaya dan mengembangkan budayanya.
Bahasa
sangat erat kaitannya dengan perkembangan berpikir individu.
Perkembangan pikiran individu tampak dalam perkembangan bahasanya yaitu
kemampuan membentuk pengertian, menyusun pendapat, dan menarik
kesimpulan.
Perkembangan
pikiran itu dimulai pada usia 1,6-2,0 tahun, yaitu pada saat anak dapat
menyusun kalimat dua atau tiga kata. Laju perkembangan itu sebagai
berikut.
a. Usia 1,6 tahun, anak dapat menyusun pendapat positif, seperti: “bapak makan”.
b. Usia 2,6 tahun, anak dapat menyusun pendapat negatif (menyangkal), seperti: “Bapak tidak makan”.
c. Pada usia selanjutnya, anak dapat menyusun pendapat:
1) Kritikan: “ini tidak boleh, ini tidak baik”.
2) Keragu-raguan: barangkali, mungkin, bisa jadi, ini terjadi apabila anak sudah menyadari akan kemungkinan ke khilafannya.
3) Menarik
kesimpulan analogi, seperti: anak melihat ayahnya tidur karena sakit,
pada waktu lain anak melihat ibunya tidur, dia mengatakan bahwa ibu
tidur karena sakit.
Dalam
berbahasa, anak dituntut untuk menuntaskan atau menguasai empat tugas
pokok yang satu sama lainnya saling berkaitan. Apabila anak berhasil
menuntaskan tugas yang satu, maka berarti juga ia dapat menuntaskan
tugas-tugas yang lainnya. Keempat tugas itu adalah sebagai berikut:
1. Pemahaman,
yaitu kemampuan memahami makna ucapan orang lain. Bayi memahami bahasa
orang lain, bukan memahami kata-kata yang diucapkannya, tetapi dengan
memahami kegiatan /gerakan atau gesturenya (bahasa tubuhnya).
2. Pengembangan
Perbendaharaan kata-kata anak berkembang dimulai secara lambat pada
usia dua tahun pertama, kemudian mengalami tempo yang cepat pada usia
pra-sekolah dan terus meningkat setelah anak masuk sekolah.
3. Penyusunan
Kata-kata menjadt kalimat, kemampuan menyusun kata-kata menjadi kalimat
pada umumnya berkembang sebelum usia dua tahun. Bentuk kalimat pertama
adalah kalimat tunggal (kalimat satu kata) dengan disertai: “gesture” untuk melengkapi cara benpikirnya.
4. Ucapan.
Kemampuan kata-kata merupakan hasil belajar melalui imitasi (peniruan)
terhadap suara-suara yang didengar anak dan orang lain (terutama
orangtuanya). Pada usia bayi, antara 11-18 bulan, pada umumnya mereka
belum dapat berbicara atau mengucapkan kata-kata secara jelas, sehingga
sering tidak dimengerti maksudnya. Kejelasan ucapan itu baru tercapai
pada usia sekitar tiga tahun. Hasil studi tentang suara dan kombinasi
suara menunjukkan bahwa anak mengalami kemudahan dan kesulitan dalam
huruf-huruf tertentu.
Ada dua tipe perkembangan bahasa anak, yaitu sebagai berikut.
1. Eqocentric Speech
2. Socialized Speech,
yang terjadi ketika berlangsung kontak antara anak dengan temannya atau
dengan lingkungannya. Perkembangan ini dibagi ke dalam lima bentuk: (a)
adapted information, di sini terjadi saling tukar gagasan atau adanya tujuan bersama yang dicari, (b) critism, yang menyangkut penilaian anak terhadap ucapan atau tingkah laku orang lain, (c) command (perintah), request (permintaan) dan threat (ancaman), (d) questions (pertanyaan), dan (e) answers (jawaban).
Berbicara monolog (egocentric speech)
berfungsi untuk mengembangkan kemampuan berpikir anak yang pada umumnya
di lakukan oleh anak berusia 2-3 tahun; sementara yang “sociaized speech” mengembangkan kemampuan penyesuaian sosial (social adjustment).
Perkembangan bahasa dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut yaitu:
1. Faktor
Kesehatan. Kesehatan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi
perkembangan bahasa anak, terutama pada usia awal kehidupannya. Apabila
pada usia dua tahun pertama, anak mengalami sakit terus-menerus, maka
anak tersebut cenderung akan mengalami kelambatan atau kesulitan dalam
perkembangan bahasanya. Oleh karena itu, untuk memelihara perkembangan
bahasa anak secara normal, orangtua perlu memper hatikan kondisi
kesehatan anak. Upaya yang dapat ditempuh adalah dengan cara memberikan
ASI, makanan yang bergizi, memelihara kebersihan tubuh anak atau secara
reguler memeriksakan anak ke dokter atau ke puskesmas.
2. Inteligensi
Perkembangan bahasa anak dapat dilihat dari tingkat inteligensinya.
Anak yang perkembangan bahasanya cepat, pada umumnya mempunyai
inteligensi normal atau di atas normal.).
3. Status
Sosial Ekonorni Keluarga. Beberapa studi tentang hubungan antara
perkembangan bahasa dengan status sosial ekonomi keluarga menunjukkan
bahwa anak yang berasal dari keluarga miskin mengalami kelambatan dalam
perkembangan bahasa dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga
yang lebih baik. Kondisi ini terjadi mungkin disebabkan oleh perbedaan
kecerdasan atau kesempatan belajar (keluarga miskin diduga kurang
memperhatikan perkembangan bahasa anaknya), atau kedua-duanya (Hetzer
& Reindorf dalam E. Hurlock. 1956).
4. Jenis kelamin (Sex).
Pada tahun pertama usia anak, tidak ada perbedaan dalam vokalisasi
antara pria dengan wanita. Namun mulai usia dua tahun, anak wanita
menunjukkan perkembangan yang lebih cepat dari anak pria.
5. Hubungan
Keluarga. Hubungan ini dimaknai sebagai proses pengalaman berinteraksi
dan berkomunikasi dengan lingkungan keluarga, terutama dengan orangtua
yang mengajar, melatih dan memberikan contoh berbahasa kepada anak.
b. Perkembangan Bahasa dan Perilaku Kognitif
Istilah “cognitive” berasal dari kata cognition yang padanannya knowing, berarti mengetahui. Dalam arti yang luas, cognition
(kognisi) ialah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan
(Neisser, 1976). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah kognitif
menjadi populer sebagai salah satu domain atau wilayah/ranah psikologis
manusia yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan
pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah,
kesengajaan, dan keyakinan. Ranah kejiwaan yang berpusat di otak ini
juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang
bertalian dengan ranah rasa (Chaplin, 1972).
Sebagian
besar psikolog terutama kognitivis (ahli psikologi kognitif)
berkeyakinan bahwa proses perkembangan kognitif manusia mulai
berlangsung sejak ia baru lahir. Bekal dan modal dasar perkembangan
manusia, yakni kapasitas motor dan kapasitas sensori seperti yang telah
penyusun uraikan di muka, ternyata sampai batas tertentu, juga
dipengaruhi oleh aktivitas ranah kognitif. Pada poin 1 bagian ini telah
penyusun utarakan, bahwa campur tangan sel-sel otak terhadap
perkembangan bayi baru dimulai setelah ia berusia 5 bulan saat kemampuan
sensorinya (seperti melihat dan mendengar) benar-benar mulai tampak.
Menurut
para ahli psikologi kognitif, pendayagunaan kapasitas ranah kognitif
sudah mulai berjalan sejak manusia itu mulai mendaya unakan kapasitas
motor dan sensorinya. Hanya, cara dan intensitas pendayagunaan kapasitas
ranah kognitif tersebut tentu masih belum jelas benar. Argumen yang
dikemukakan para ahli mengenai hal mi antara lain ialah bahwa kapasitas
sensori dan jasmani seorang bayi yang baru lahir tidak mungkin dapat
diaktifkan tanpa aktivitas pengendalian sel-sel otak bayi tersebut.
Sebagai bukti, jika seorang bayi lahir dengan cacat atau berkelainan
otak, kecil sekali kemungkinan bayi tersebut dapat mengotomatisasikan
refleks-refieks motorde dan daya-daya sensorinya. Otomatisasi refleks
dan sensori, menurut para ahli, tidak pernah terlepas sama sekali dan
aktivitas ranah kognitif, sebab pusat refleks sendiri terdapat dalam
otak, sedangkan otak adalah pusat ranah kognitif manusia.
Selanjutnya,
seorang pakar terkemuka dalam disiplin psikologi kognitif dari anak,
Jean Piaget (sebut: Jin Piasye), yang hidup antara tahun 1896 sampai
tahun 1980, mengklasifikasikan perkembangan kognitif anak menjadi empat
tahapan.
1. Tahap sensory-motor yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 0-2 tahun.
2. Tahap pre-operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 2-7 tahun.
3. Tahap concrete-operational, yang terjadi pada usia 7-11 tahun
4. Tahap formal-operational,
yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 11-15 tahun
(Daehler & Bukatko, 1985; Best, 1989; Anderson, 1990).
Istilah-istilah khusus dan arti-artinya yang berhubungan dengan prose perkembangan kognitif anak versi Piaget tersebut:
1. Sensory-motor schema
(skema sensori-motor) ialah sebuah atau serangkaian perilaku terbuka
yang tersusun secara sistematis untuk merespons lingkungan (barang,
orang, keadaan, kejadian).
2. Cognitive schema
(skema kognitif), ialah perilaku tertutup berupa tatanan
langkah-langkah kognitif (operations) yang berfungsi memahami apa yang
tersirat atau menyimpulkan lingkungan yang direspons.
3. Object permanance (ketetapan benda) yakni anggapan bahwa sebuah benda akan tetap ada walaupun sudah ditinggalkan atau tidak dilihat lagi;
4. Assimilation (asimilasi), yakni proses aktif dalam menggunakan skema untuk merespons lingkungan.
5. Accomodation (akomodasi), yakni penyesuajan aplikasi skema yang cocok dengan lingkungan yang direspons.
6. Equilibrium
(ekuilibrium), yakni keseimbangan antara skema yang digunakan dengan
lingkungan yang direspons sebagai hasil ketepatan akomodasi.
Terdapat
hubungan yang amat erat antara perkembangan bahasa dan perilaku
kognitif. Taraf-taraf penguasaan keterampilan berbahasa dipengaruhi,
bahkan bergantung pada tingkat-tingkat kematangan dalam kemampuan
intelektual. Sebaliknya, bahasa merupakan sarana dan alat yang strategis
bagi 1ajunya perkembangan perilaku kognitif.
Perkembangan
fungsi-fungsi dan perilaku kognitif itu menurut Loree.(1970:77), dapat
dideskripsikan dengan dua cara dua ialah secara kualitatif dan secara
kuantitatif.
(1) Perkembangan
Fungsi-Fungsi Kognitif secara Kuantitatif perkembangan fungsi-fungsi
kognitif secara kuantitatif dapat dikembangkan berdasarkan basil laporan
berbagai studi pengukuran dengan menggunakan tes inteligensi sebagai
alat ukurnya, yang dilakukan secara longitudinal terhadap sekelompok
subjek dan sampai ke tingkatan usia tertentu (3-5 tahun sampai usia
30-35 tahun, misalnya) secara test-retest yang alat ukurnya disusun
secara sekuensial (Standford Revision Binet Test). Dengan menggunakan
hasil pengukuran tes yang rnencakup General
Information and Verbal Analogies, Jones and Conrad (Loree, 1970:78)
telah mengembangkan sebuah kurva perkembangan inteligensi, yang dapat
ditafsirkan antara lain sebagai berikut.
(a) Laju perkembangan inteligensi berlangsung sangat pesat sampai ,masa remaja awal, setelah itu kepesatan nya berangsur menurun.
(b) Puncak
perkembangan pada umumnya dicapai di penghujung masa remaja akhir
(sekitar usia dua puluhan); perubahan-perubahan yang amat tipis sampai
usia 50 tahun, setelah itu terjadi plateau (mapan) sampai usia 60 tahun,
untuk selanjutnya berangsur menurun (deklinasi).
(c) Terdapat variasi dalam saatnya dan laju kecepatan deklinasi menurut jenis-jenis kecakapan khusus tertentu.
(2) Perkembangan Perilaku Kognitif secara Kualitatif
Piaget
membagi proses perkembangan fungsi dan peri itu ke dalam empat tahapan
utama yang secara kualitatif setiap tahapan menunjukkan karakteristik
yang berbeda-beda.
(a) Sensorimotor
period (0,0 - 2,0). Periode ini ditandai penggunaan sensorimotorik
(dalam pengamatan penginderaan) yang intensif terhadap dunia sekitar.
Prestasi intelektual yang dicapai dalam periode ini ialah perkembangan
bahasa, hubungan tentang obyek kontrol skema, kerangka berpikir,
pembentukan pengertian, pengenalan hubungan sebab-akibat. Perilaku
kognitif tampak antara lain:
(1) menyadari dirinya berbeda dan benda-befl sekitarnya;
(2) sensitive terhadap rangsangan suara dan cahaya;
(3) mencoba bertahan pada pengalaman-pengalaman yang menarik;
(4) mendefinisikan objek/benda dengan manipulasinya;
(5) mulai memahami ketetapan makna suatu objek meskipun lokasi dan posisinya berubah.
(b) Preoperational. period (2,0 - 7,0). Periode ini terbagi ke dalam dua tahapan ialah preconceptual
(2,0-4,0) dan intuitive (4,0 - 7,0). Periode preconceptual ditandai
dengan cara berpikir yang bersifat transduktif (menarik konklusi tentang
sesuatu yang khusus; sapi disebut juga kerbau). Periode intuitif
ditandai oleh dominasi pengamatan yang bersifat egocentric (belum
memahami cara orang lain memandang objek yang sama), seperti searah
(selancar). Perilaku kognitif yang tampak antara lain:
(1) self-centered dalam memandang dunianya;
(2) dapat
mengklasifikasikan objek-objek atas dasar satu ciri tertentu yang
memiliki ciri yang sama, mungkin pula memiliki perbedaan dalam hal yang
lainnya;
(3) dapat melakukan koleksi benda-benda berdasarkan suatu ciri atau kriteria tertentu;
(4) dapat
menyusun benda-benda, tetapi belum dapat menarik inferensi dan dua
benda yang tidak her sentuhan meskipun terdapat dalam susunan yang sama.
(c) Concrete erational (7,0 - 11 or 12,0)
Tiga
kemampuan dan kecakapan yang baru yang menandai periode ini, ialah:
rnengklasifikasikan angka-angka atau bilangan. Dalam periode mi anak
mulai pula mengkonservasi pengetahuan tertentu. Perilaku kognitif yang
tampak pada periode ini ialah kemampuannya dalam proses berpikir untuk
mengoperasikan kaidah-kaidah logika meskipun masih terikat dengan
objek-objek yang bersifat konkret.
(d) Formal operational period (11,0 or 12,0 - 14,0 or 15,0)
Periode
ini ditandai dengan kernampuan untuk mengoperasikan kaidah-kaidah
logika formal yang tidak terikat lagi oleh objek-objek yang bersifat
konkrit. Pen laku kognitif yang tampak pada kita antara lain:
(1) kemampuan berpikir hipotetis-deduktif (hypothetico-deductive thinking);
(2) kemampuan mengembangkan suatu kemungkinan berdasarkan dua atau lebih kemungkinan yang ada (a combinational analysis);
(3) kemampuan mengembangkan suatu proporsi atau dasar proporsi-proporsi yang diketahui (proportional thinking);
(4) kemampuan menarik generalisasi dan inferensasi dan berbagai kategori objek yang beragam.
Tokoh
lain yang melakukan studi terhadap masalah ini secara mendalam ialah
Jerome Bruner (1966) ia membagi proses perkembangan perilaku kognitif ke
dalam tiga periode ialah:
(1) enactive stage, merupakan suatu masa ketika individu berusaha memahami lingkungannya. tahap mi mirip dengan sensorimotor period dan Piaget;
(2) iconic stage, yang mendekati kepada preoperational period dan Piaget; dan
(3) symbolic stage, yang juga mendekati ciri-ciri formal operational peniode dan Piaget.
Dari
telaahan kita terhadap perkembangan bahasa dan perilaku serta
fungsi-fungsi kognitif itu, jelaslah mempunyai implikasi yang sangat
penting bagi pengernbangan sistem dan praktik pendidikan seperti yang
disarankan oleh Gage & Berliner (1975:375-378), antara lain para
pendidik seyogianya mampu untuk melaksanakan hal-hal berikut:
(1) intellectual empathy;
(2) using concrete objects;
(3) using inductive approach;
(4) sequencing instruction;
(5) taking amount of fit of new experience;
(6) applying student self-regulation principles;
(7) developing cognitive values of interaction.
3. Perkembangan Perilaku Sosial, Moralitas dan Keagamaan
a. Perkembangan Perilaku sosial
Secara potensial (fitriah) manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial (zoon politicon), kata Plato.
Namun,
untuk mewujudkan potensi tersebut ia harus berada dalam interaksi
dengan lingkungan manusia-manusia lain (ingat kisah Singh Zingh di India
dan Itard di Perancis, bayi yang disusui dan dibesarkan binatang tidak
dapat dididik kembali untuk menjadi manusia biasa).
1) Proses sosialisasi dan perkembangan sosial
Secepat
individu menyadari bahwa di luar dirinya itu ada orang lain, maka
mulailah pula menyadari bahwa ia harus belajar apa yang seyogianya ia
perbuat seperti yang diharapkan orang lain. Proses belajar untuk menjadi
makhluk sosial ini disebut sosialisasi.
Loree
(1970:86) dengan menyitir pendapat English & English (1958)
menjelaskan lebih lanjut bahwa sosialisasi itu merupakan suatu proses di
mana individu (terutama anak) melatih kepekaan dirinya terhadap
rangsangan-rangsangan sosial terutama tekanan-tekanan dan tuntutan
kehidupan (kelornpoknya); belajar bergaul dengan dan bertingkah laku
seperti orang lain, bertingkah laku di dalam lingkungan
sosio-kulturalnya.
Perkembangan
sosial, dengan demikian dapat diartikan sebagai sequence dari perubahan
yang bersinambungan dalam perilaku individu untuk menjadi rnakhluk
sosial yang dewasa. Charlotte Buhier mengidentifikasikan perkembangan
sosial ini dalam term kesadaran hubungan aku engkau atau hubungan
subjektif-objektif. Proses perkembangannya berlangsung secara berirama.
2) Kecenderungan Pola Orientasi Sosial
Branson
(Loree, 1970:87-89) mengidentifikasi berdasarkan hasil studi
longitudinalnya terhadap anak usia 5-16 tahun bahwa ada tiga pola
kecenderungan sosial pada anak, ialah (1) withdrawal-expansive, (2)
reactivity-placidity dan passivity-dominance. Kalau seseorang telah
memperhatikan orientasinya pada salah satu pola tersebut, maka cenderung
diikutinya sampai dewasa.
b. Perkembangan Moralitas
1. Perkembangan Moral
Istilah
moral berasal dari kata Latin “mos” (Moris), yang berarti adat istiadat
peraturan/nilai-nilai atau tatacara kehidupan. Sedangkan moralitas
merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai
atau prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral itu, seperti (a) seruan
untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan
keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain, dan (b)
larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum minuman keras dan berjudi.
Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku tersebut sesuai
dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tingi kelompok sosialnya.
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral
Perkembangan
moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungan Anak memperoleh
nilai-nilai moral dan lingkungannya dan orangtuanya. Dia belajar untuk
mengenal nilai-nilai sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Dalam
mengembangkan moral anak, peranan orangtua sangatlah penting, terutama
pada waktu anak masih kecil. Beberapa sikap orangtua yang perlu
diperhatikan sehubungan dengan Perkembangan moral anak, di antaranya
sebagai berikut.
a. Kolsisten dalam rnendidik anak
Ayah
dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang
atau membolehkan tingkah laku tertentu ke pada anak. Suatu tingkah laku
anak yang dilarang oleh orangtua pada suatu waktu, harus juga dilarang
apabila dilakukan kembali pada waktu lain.
b. Sikap orangtua dalarn keluarga
Secara
tidak langsung, sikap orangtua terhadap anak, sikap ayah dan ibu, atau
sebaliknya, dapat mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu melalui
proses peniruan (imitasi) Sikap orangtua yang keras (otoriter) cenderung
melahirkan sikap disiplin semu pada anak, sedangkan sikap yang acuh tak
acuh, atau sikap masa bodoh cenderung mengembangkan sikap kurang
bertanggung jawab dan kurang mempedulikan norma pada din anak. Sikap
yang sebaiknya dimiliki oleh orangtua adalah sikap kasih sayang
keterbukaan, musyawarah (dialogis), dan konsisten
c. Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut
Orang tua merupakan panut (teladah) bagi anak, termasuk di sini panutan
dalam mengamalkan ajaran agama. Orangtua yang menciptakan iklim yang
religius (agamis) dengan cara membersihkan ajaran atau bimbingan tentang
nilai-nilai agama kepada anak, maka anak akan mengalami Perkembangan
moral yang baik.
d. Sikap orangtua dalam menerapkan norma
Orang
yang tidak menghendaki anaknya berbohong, atau berlaku tidak jujur,
maka mereka harus menjauhka dirinya dan Perilaku berbohong atau tidak
jujur.
3. Proses Perkembangan Moral
Perkembangan moral anak dapat berlangsung melalui beberapa cara, sebagai berikut.
1. Pendidikan
langsung, yaitu melalui penanaman pengertian tentang tingkah laku yang
benar dan salah, atau baik dan buruk oleh orangtua, guru atau orang
dewasa lainnya. Di samping itu, yang paling penting dalam pendidikan
moral mi, adalah keteladanan dan orangtua, guru atau orang dewasa
lainnya dalam melakukan nilai-nilai moral
2. Identifikasi,
yaitu dengan cara mengidentifikasi atau meniru penampilan atau tingkah
laku moral seseorang yang menjadi idolanya (seperti orangtua, guru,
kiai, artis atau orang dewasa lainnya).
3. Proses
coba-coba (trial & error), yaitu dengan cara mengembangkan tingkah
laku moral secara coba-coba. Tingkah laku yang mendatangkan pujian atau
penghargaan akan terus .di kembangkan, sementara tingkah laku yang
mendatangkan hukuman atau celaan akan dihentikannya.
c. Perkembangan Penghayatan Keagamaan
1. Tahapan Perkembangan Penghayatan Keagamaan
Sejalan
perkembangan kesadaran moralitas, perkembangan penghayatan keagarnaan,
yang erat hubungannya dengan perkembangan intelektual di samping
emosional dan volisional (konatifl, mengalami perkembangan. Para
ahli umumnya (Zakiah Daradjat, Starbuch, William James) sependapat
bahwa pada garis besarnya per kembangan penghayatan keagamaan itu dapat
dibagi dalam tiga tahapan yang secara kualitatif menunjukkan
karakteristik yang berbeda. Tahapan-tahapan itu ialah sebagai berikut.
(a) Pertama. Masa kanak-kanak (sampai usia tujuh tahun) yang ditandai, antara lain oleh:
(1) sikap keagamaan reseptif meskipun banyak ber anya;
(2) pandangan ke-Tuhan-an yang anthropormorph (dipersonifikasikafi)
(3) penghayatan
secara rohaniah masih superficial (belum mendalam) meskipun mereka
telah melakukan atau partisipasi dalam berbagai kegiatan ritual;
(4) hal
ke-Tuhan-an dipahamkan secara ideosyncritic (menurut khayalan
pribadinya) sesuai dengan taraf kemampuan kognitifnya yang masih
bersifat ego centric (memandang segala sesuatu dan sudut dirinya).
(b) Kedua. Masa anak sekolah (7-8 sampai 11-12 tahun), yang ditandai, antara lain, oleh:
(1) sikap keagamaan bersifat reseptif tetapi disertai pengertian
(2) pandangan
dan paham ke-Tuhan-an diterangkan secara rasional berdasarkan
kaidah-kaidah logika yang bersumber pada indikator alam semesta sebagai
manifestasi dan eksistensi dan keagungan-Nya;
(3) penghayatan secara rohaniah makin mendalam, melaksanakan kegiatan ritual diterima sebagai keharusan moral.
(c) Ketiga. Masa remaja (12-18 tahun) yang dapat dibagi ke dalam dua sub tahapan, ialah:
(1) masa remaja awal, yang ditandai, antara lain, oleh:
(a) sikap
negatif (meskipun tidak selalu terang-terangan) disebabkan alam
pikirannya yang kritis melihat kenyataan orang-orang her agama secara
hypocrit (pura-pura) yang peng akuan dan ucapannya tidak selalu selaras
dengan perbuatannya;
(b) pandangan
dalam hal ke-Tuhan-annya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau
mende ngar berbagai konsep dan pemikiran atau aliran paham banyak yang
tidak cocok atau bertentangan satu sama lain;
(c) pen
ghayatan rohaniahnya cenderung skeptic (diliputi kewas-wasan) sehingga
banyak yang enggan melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama mi
dilakukannya dengan penuh kepatuhan.
(2) masa remaja akhir, yang ditandai, antara lain, oleh:
(a) sikap
kembali, pada umumnya, ke arab positif dengan tercapainya kedewasaan
intelektual, bahkan agama dapat menjadi pegangan hidup nya menjelang
dewasa;
(b) pandangan dalam hal ke-Tuhan-an dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan dipilihnya;
(c) penghayatan
rohaniahnya kembali tenang setelah melalui proses identifikasi dan
merindu puja ia dapat membedakan antara agama sebagai doktrin atau
ajaran dan manusia penganutnya, yang baik (saleh) dan yang tidak. Ta
juga memahami bahwa terdapat berbagai aliran paham dan jenis keagamaan
yang penuh toleransi seyogianya diterima sebagai kenyataan dunia ini.
2. Proses Pertumbuhan Penghayatan Keagamaan
Para
ahli (Zakiah, Starbuch, dan lain-lain) juga sependapat bahwa meskipun
tahapan proses perkembangan seperti di atas merupakan gej ala yang
universal, namun terdapat variasi yang luas, pada tingkat individual
maupun pada tingkat kelompok (keluarga, daerah, aliran, paham) tertentu.
Peranan lingkungan keluarga sangat penting dalam pembinaan penghayatan
keagamaan mi (Zakiah Daradjat, 1970:4-102).
4. Perkembangan Perilaku Afektif, Konatif dan Kepribadian
a. Perkembangan Fungsi-Fungsi Konatif dan Hubungannya dengan Pembentukan
Fungsi
konatif atau motivasi itu merupakan faktor penggerak perilaku manusia
yang bersumber terutama pada kebutuhan-kebutuhan dasarnya (basic needs).
Jenis-jenis kebutuhan manusia itu berkembang mulai dari sifat yang
alami (misalnya, kebutuhan dasar biologis) sampai kepada yang bersifat
dipelajari sebagai pengalaman interaksi dengan lingkungannya.
Di
dalam kenyataan yang berkembang itu bukanlah jenis motif atau
kebutuhan, melainkan beberapa sifatnya, misalnya objek dan caranya,
itensitasnya, dan sebagainya.
b. Perkembangan Emosional dan Perilaku Afektif
Emosi
itu dapat didefinisikan sebagai suatu suasana yang kompleks ( a complex
feeling state) dan getaran jiwa (a strid up state) yang menyertai atau
muncul sebelum /sesudah terjadinya perilaku.
Aspek emosional dari suatu perilaku, pada umumnya, selalu melibatkan tiga variabel, yaitu rangsangan yang menimbulkan emosi (the stimulus variable), perubahan-perubahan fisiologis, yang terjadi bila mengalami emosi (the organismic variable), dan pola sambutan ekspresi atau terjadinya pengalaman emosional itu (the response variable).
Emosi sebagai suatu peristiwa psikologis mengandung ciri-ciri sebagai berikut:
1. Lebih bersifat subjektif daripada peristiwa psikologis lainnya, seperti pengamatan dan berpikir.
2. Bersifat fluktuatif (tidak tetap)
3. Banyak bersangkut paut dengan peristiwa pengenalan panca indera.
Emosi dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu emosi sensoris dan emosi kejiwaan (psikis).
a. Emosi
sensoris, yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dan luar
terhadap tubuh, seperti: rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang, dan
lapar.
b. Emosi psikis, di antaranya adalah:
1) Perasaan Intelektual, yaitu yang mempunyai sangkut paut dengan ruang lingkup kebenaran.
2) Perasaan Sosial, yaitu perasaan yang menyangkut hubungan dengan orang lain, baik bersifat perorangan maupun kelompok.
3) Perasaan Susila, yaitu perasaan yang berhubungan dengan nilai-nilai balk dan buruk atau etika moral.
4) Perasaan
Keindahan (estetis), yaitu perasaan yang berkaitan erat dengan
keindahan dan sesuatu, baik bersifat kebendaan maupun kerohanian.
5) Perasaan
Ketuhanan. Salah satu kelebihan manusia sebagai makhluk Tuhan,
dianugerahi fitrah (kemampuan atau perasaan) untuk mengenal Tuhannya.
Perkembangan Kepribadian?
c. Perkembangan Kepribadian
1. Pengertian Kepribadian
Istilah
kepribadian merupakan terjemahan dan Bahasa Inggris o7iai’t’ istilah
personality secara etimologis berasal dan bahasa Latin “person” (kedok)
dan “personare” (menembus). Persona biasanya dipakai oleh para pemain
sandiwara pada zaman kuno untuk memerankan satu bentuk tingkah laku dan
karakter pribad Sedangkan yang dimaksud dengan personare adalah bahwa
pemain sandiwara itu dengan melalui kedoknya berusaha menembus keluar
untuk mengekspresikan satu bentuk gambaran manusia tertentu. Misalnya;
seorang pemurung, pendiam, periang, peramah, pemarah, dan sebagainya.
Jadi persona itu bukan pribadi pemain itu sendiri, tetapi gambaran
pribadi dan tipe manusia tertentu dengan melalui kedok yang dipakainya.
Kepribadian
dapat juga diartikan sebagai “kualitas perilaku individu yang tamj
alamrnelakukan penyesuaian dirinya terhadap ling \kungan secara unik”
Keunikan penyesuaian tersebut sangat berkaitan dengan aspek-aspek
kepribadian itu sendiri, yaitu meliputi hal-hal berikut.
1) Karakter,
yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika pen laku, konsisten atau
teguh tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat.
2) Temperamen,
yaitu disposisi reaktif seseorang, atau cepat/lambatnya mereaksi
terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan
3) Sikap terhadap objek (orang, benda, peristiwa, norma dan sebagainya) yang bersifat positif, negatif atau ambivalen (ragu-ragu).
4) Stabilitas
emosi, yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dan
lingkungan. Seperti: mudah tidaknya tersinggung marah, sedih atau putus
asa.
5) ResponsibilitaS
(tanggung jawab), kesiapan untuk menerima risiko dan tindakan atau
perbuatan yang dilakukan. Seperti: mau menerima risiko secara wajar,
cuci tangan, atau melarikan diri risiko yang dihadapi.
6) Sosiabilitas,
yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal.
Disposisi ini seperti tampak dalam sifat pribadi yang tertutup atau
terbuka; dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepribadian
Kepribadian
dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik hereditas (pembawaan) maupun
lingkungan (seperti: fisik, sosial, kebudayaan, spiritual).
a. Fisik.
Faktor yang dipandang mempengaruhi perkembangai kepribadian adalah
postur tubuh (langsing, gemuk, pendek atau tinggi), kecantikan (cantik
atau tidak cantik), kesehatan (sehat atau sakit-sakitan), keutuhan tubuh
(utuh atau cacat), dan keberfungsian organ tubuh.
b. Inteligensi.
Tingkat intelegensi individu dapat mempengaruhi perkembangan
kepribadiannya. Individu yang inteligensinya tinggi atau normal biasa
mampu menyesuaikan din dengan lingkungannya secara wajar, sedangkan yang
rendah biasanya sering mengalami hambatan atau kendala dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungan.
c. Keluarga. Suasana atau iklim keluarga sangat penting bagi perkembangan kepribadian anak. Seorang anak yang dibesar kan
dalam Iingkungan keluarga yang harmonis dan agamis dalam arti, orangtua
memberikan curahan kasih sayang, perhatian serta bimbingan dalam
kehidupan berkeluarga, maka perkembangan kepribadian anak tersebut
cenderung positif. Adapun anak yang dikembangkan dalam lingkungan
keluarga yang broken home, kurang harmonis, orangtua bersikap keras
terhadap anak atau tidak memperhatikan nilai-nilai agama dalam keluarga,
maka perkembangan kepribadiannya cenderung akan mengalami distorsi atau
mengalami kelainan dalam penyesuaian dirinya (maladjustment).
d. Teman
sebaya (peer group). Setelah masuk sekolah, anak mulai bergaul dengan
teman sebayanya dan menjadi anggota dan kelompoknya. Pada saat inilah
dia mulai mengalihkan perhatiannya untuk mengembangkan sifat-sifat atau
perilaku yang cocok atau dikagumi oleh teman-temannya, walaupun mungkin
tidak sesuai dengan harapan orangtuanya. Melalui hubungan ini
terpersonal dengan teman sebaya, anak belajar menilai dirinya sendiri
dan kedudukannya dalam kelompok. Bagi anak yang kurang mendapat kasih
sayang dan bimbingan keagamaan atau etika dan orangtuanya, biasanya
kurang memiliki kemampuan selektif dalam memilih teman dan mudah sekali
terpengaruh oleh sifat dan perilaku kelompoknya.
e. Kebudayaan. Setiap kelompok masyarakat (bangsa, ras, atau suku bangsa) memiliki tnadisi, adat, atau kebudaya yang khas.
3. Perubahan Keprbadian
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubaha ke dalam tiga kategori, yaitu:
a. Faktor organik, seperti: makanan, obat, infeksi, dan gangguan organik.
b. Faktor lingkungan sosial budaya, seperti: pendidikan, nekreasi dan partisipasi sosial.
c. Faktor dari dalam individu itu sendiri, seperti: tekanan emosional identifikasi terhadap orang lain, dan imitasi.
4. Karakteristik Kepribadian
E.B.
Hurlock (1986) mengemukakan bahwa penyesuaian yang sehat atau
kepribadian yang sehat (healthy personality) ditandai dengan
karakteristik sebagai berikut.
a. Mampu menilai diri secara realities
b. Mampu menilai situasi secara realistik.
c. Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistik.
d. Menerima tanggung jawab.
e. Kemandirian (autonomi).
f. Dapat mengontrol emosi.
g. Berorientasi tujuan.
h. Berorientasi keluar.
i. Penerimaan sosial.
j. Memiliki filsafat hidup.
k. Berbahagia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar